Aku, Ayah dan Rahasia
“Ayah……!!” friska
bertteriak. Dengan lemah ia mengguncangkan tubuh ayahnya yang mulai mendingin.
“ayah bangun…. . Yah ini
friska yah. Ayah udah lama kan pengen ketemu friska. Friska udah datang yah.
Ayah harus bangun. Ayah ngomong donk yah. Ayah…….” Friska seakan buta terhadap
apa yang sedang terjadi. Friska terus mengajak Ayahnya berbincang-bincang
seharian.
Karena tak
kuat lagi menyaksikan keadaan friska, akhirnya Ibu Riza, Ibunya terbaring tak
sadarkan diri. Sedangkan kedua kakaknya yang masih dalam keadaan shock membawa
Ibunya keluar dari kamar.
Mataharipun
dengan kelelahannya menyelasaikan tugasnya untuk hari itu. Waktu telah
menunjukkan pukul 11 malam. Namun, secercah senyumpun tak kunjung muncul dari
keluarga sederhana tersebut. Masing-masing
masih shock atas kepergian Ayah mereka, Pak Riza. Tak terkecuali Danu, anak
bungsu Pak Riza. Danu hanya tertunduk diam dalam duduknya di tepi pantai.
Matanya seakan menerawang jauh, tapi tatapannya kosong. Rambutnya yang biasa
tertata rapi, sekarang berubah 180 derajat. Pipinya tak basah sedikitpun, tapi
matanya menyiratkan kesedihan dan kekecewaan yang seakan ingin merobek benteng
pertahanan yang selama ini ia tunjukkan.
Danu masih
kaku, tak tampak tanda-tanda perpindahan anggota tubuhnya, ia masih tetap
bertahan dengan kedua kakinya dirapatkan dan tertunduk, menyandarkan kepalanya
diatas lututnya. Ia mencoba mengenang kembali masa-masa 5 tahun terakhir,
masa-masa dimana ia baru mengenal apa itu kehidupan. Tanpa disaadarinya,
sepasang mata menatapnya seksama dari
balik jendela.
****
Sepulang sekolah Danu
dengan mengendarai motornya bersama teman-temannya menuju markas mereka. Namun,
dia mendadak berhenti ketika ia melihat seseorang yang sangat penting baginya sedang
duduk lemas di tepi jalan dengan menggenggam amplop yang tak tahu apa isinya.
Danu menghampiri Ayahnya dengan cemas “Ayah kenapa
disini?”.
Menyadari kehadiran Danu,
Pak Riza dengan ekspresi penuh rahasia segera berdiri dan menatap dengan tajam Danu.
“kamu kenapa disini ? kamu mengekori saya ya ?, hah ? ”
Danu menggeleng, “saya kebetulan melihat Ayah di…”
“Eits… kamu panggil apa ? Ayah ? jangan pernah
panggil saya ‘ayah’. Mengerti ?. heh, aku tidak pernah sudi punya anak yang
bisanya hanya buat aku pusing, dan hampir gila.” Danu bingung, dia tidak tahu
apa kesalahan yang telah ia buat, sehingga Ayahnya marah padanya didepan umum
seperti sekarang.
“Ayah, ada apa sih ? ayah sakit ? kok marah-marah nggak karuan kayak gini
?. Emang salah aku apa ?.” Danu pun jadi ikut emosi melihat Ayahnya.
Dengan sisa kekesalannya
Danu beranjak pergi menuju teman-temannya dengan mengendarai motornya tadi.
“heh. apaan sih, aku nggak ada salah kok malah
kena semprot depan banyak orang. Tapi, apa ya yang ada dalam amplop tadi ?
sepertinya karena amplop itu Ayah jadi aneh bin buat kesel. Hmm, apa ya ?” Danu
bertanya-tanya dalam hati. Tanda tanya pun semakin banyak melayang didalam
otaknya saat dia melihat lagi Ayahnya duduk termenung dan terus menatap langit.
“Aneh, apa yang dilihat Ayah ? langit gelap, nggak
ada bintang atau bulan. Lagian, kok tumben ya Ayah duduk sambil lihat langit,
biasanya malam kayak gini kan Ayah nonton berita. Aneh !”
Danu menghampiri Ayahnya.
Meskipun hatinya gusar teringat kejadian tadi siang, ia tetap memutuskan untuk
mrnghampiri ayahnya. Ia pun duduk di samping Ayahnya itu.
“hmm, yah apa sih yang Ayah lihat di langit?
Perasaan nggak ada apa-apa.” Kemudian Danu menoleh ke Ayahnya.
“ya, ternyata tidur. Kirain lihat langit.” Danu
pun segera berdiri.
Namun ketika ia ingkin
membalikkan badannya, tanpa sengaja ia melihat sebuah amplop yang sama persis
dengan amplop yang dilihatnya tadi siang dalam keadaan terbuka. Perl;ahan tapi pasti, Danu pun mengambil
amplop tersebut dari genggaman Ayahnya. Tanpa pikir panjang, ia mengeluarkan
isi amplop tersebut. Ternyata isi dari amplop tersebut adalah sebuah kertas.
Dibukanya lipatan demi lipatan kertas tersebut. Rahasia itu akhirnya
terbongkar. Tubuh Danu kaku, kertas tersebut masih digenggamnya. Persisi. Ekspresi
yang sama seperti malam itu.
****
Keesokan paginya rumah tersebut dihebohkan dengan
teriakan Deiya.
“Ibu, Ayah, Sani, Danu.”
“ada apa Deiya ? kok teriak-teriak ? kedengaaran
sampai dapur.” Sahut Ibu Riza.
“Ibu, Friska gak ada di kamarnya.” Sambil berlari
Deiya menghampiri Ibunya.
“Deiya. Jangan iseng deh. Masih pagi tahu. Nanti
kedengaran Ayah, dikirain Ayah serius. Orang lagi pada sibuk jadi, jangan buat
lelucon yang aneh-aneh.” Ibu masih sibuk dengan pekerjaan rutinnya yaitu
mernyiapkan sarapan untuk keluarganya.
“Bu. Lihat mata Deiya bu. Deiya nggak bohong.
Sekarang Deiya super serius. Kalau Ibu nggak percaya, nih baca surat dari
Friska. Belum Deiya baca kok.” Bela Deiya.
Ibu Riza pun tersentak.
Dibacanya satu per satu setiap kalimat dalam surat itu. Tak sengaja piring yang berada dalam
genggamnya pun jatuh. Pak Riza, Danu dan Sani pun berlari menuju sumber suara.
“Ayah…” Deiya terkejut melihat Ayahnya yang telah menatapnya serius.
****
Waktu telah menunjukkan
pukul satu dini hari. Dalam keadaan yang tak berubah, Danu memutuskan untuk
kembali ke kamarnya. Saat hendak membuka pintu, Sani telah berdiri tegak di
depannya.
“ikut aku !” Sani pun menarik tangan adiknya
kembali menuju pantai.
Sesampai di tepi pantai,
Sani berteriak sangat kencang. Danu mengerti makna teriakan itu. Dengan lembut
Danu memeluk kakaknya itu. Dalam pelukan Danu, Sani terus menangis, melimpahkan
kesedihannya. Memang selama ini, Danu lah yang mrnjadi tempat Sani mencurahkan
isi hatinya, baik sedih maupun senang. Walau Danu lebih muda 2 tahun daripada
Sani, tapi sikap Danu lebih dewasa daripada ketiga kakaknya yang lain.
“kenapa kak ?” Danu bertanya.
“kamu tahu kan dik, apa yang yang akan kakak
tanyakan ?. Tanpa aku kasih tahu pun aku yakin kamu tahu.” Balas Sani.
“Kak, aku mohon ikhlaskan kepergian Ayah.Apa pun
yang ada di pikiran kakak lebih baik jangan kita bahas. Lebih baik kita
lanjutkan kehidupan kita bersama walau tanpa ayah. Aku yakin pasti Ayah juga
sangat menginginkan hal ini. Aku yakin Ayah nggak mau kita semua seperti raga
tak bernyawa setelah kepergian beliau.” Ucap Danu yang masih memeluk erat Sani.
Sani melepaskan pelukan Danu sambil menghapus
sisa-sisa air matanya di wajahnya.
“Dik, kamu tahu nggak, orang-orang di dalam sana
atau mungkin semua orang yang kenal dengan Ayah nggak tahu apa sebab dari
kematian Ayah.” Sani marah, dan menunjuk kea rah rumahnya. “Mula-mulanya ayah
pingsan nggak tahu karena apa, tapi nggak bisa bangun lagi. Itu aneh dik. Dan
lebih anehnya lagi, saat mayat Ayah mau diatopsi, tiba-tiba kamu datang dengan
membawa surat dari Ayah yang isinya bahwa ayah nggak mau jasadnya diatopsi atau
apa pun setelah beliau meninggal. Apa maksud semua itu ?? APA ??” Sani menangis
sambil berteriak. Dadanya terasa sesak. Ia pun menjatuhkan dirinya kepasir.
Ombak-ombak yang saling
kejar-kejaran menjadi saksi bisu atas apa yang sedang terjadi anatara kedua
kakak beradik tersebut.
“Kak, berdiri lah.” Bujuk Danu
“NGGAK !! AKU NGGAK MAU !” sekuat suara ombak,
Sani berteriak sejadi-jadinya.
“Kak . aku mohon. Jangan siksa Ayah seperti ini
kak. Aku mohon” danu pun menjatuhkan dirinya ke pasir.
“apa kamu bilang ? menyiksa ayah ? yang ada
sekarang bukan aku yang menyiksa Ayah. Kamu sadar, sekarang kamu sedang
menyiksa batin keluarga kamu sendiri. Ibu, Deiya, Friska dan aku.” Sanggah Sani
“Aku ?” Danu pura-pura tak mengerti.
“Dik, kamu tahu kan kamu nggak bisa sempurna
bohong didepan kakak. Walaupun kamu sudah merasa berhasil bisa membohongi semua
orang, tapi kamu tahu kamu perlu usaha yang besar untuk bisa bohong dengan
kakak. Kamu tahu, usaha kamu itu gagal total.” Lanjut Sani.
“Aku tahu, kamu tahu apa sebab kematian Ayah. Aku
tahu, kamu tahu bagaimana kondisi Ayah selama 5 tahun belakangan ini, dan aku
tahu Ayah yang menyuruh kamu menyimpan sebuah rahasia dari kita semua yang
pasti hal itu sangat berhubungan dengan kematian Ayah.” Sani menurunkan nada
suaranya. Suaranya sudah mulai parau.
“Kak…”
“Ssttt…” Sani meletakkan telunjuknya ke bibirnya. Dia
pun berdiri dan melangkah tertatih-tatih.
“Kak mau kemana ?”
Sani membalikkan badannya dan tersenyum. “pulang.”
Dengan perasaan cemas Danu
mengikuti Sani dari belakang. Sesampai di rumah, kecemasan Danu terjawab. Di
ruang tamu, Ibu Riza, Deiya, dan Friska menunggu kedatangan mereka berdua dan
jawaban dari semua tanda tanya yang ada.
“Ibu, kakak…” Danu terkejut. Sani terdiam kaku.
“jadi apa jawaban dari semua ini Danu ??” Ibu Riza
memulai pertanyaan
“apa sebabnya, apa rahasia itu ?” lanjut Ibu Riza
Friska melangkah maju “Dik. Apa karena aku ? apa
karena kesalahan aku dulu ? karena aku lebih memilih sekolah model daripada
dokter, yang akhirnya Ayah jadi terkena serangan jantung setelah membaca surat
dari aku. Apa karena aku dik ?” Friska
menangis menyalahkan diri.
“bukan kak. Kakak nggak salah. Tidak ada satu
orang pun yang salah atas kepergian Ayah, kecuali….” Suara Danu terputus.
“kecuali
siapa Danu ?” tanya Deiya.
Dengan memejamkan mata, Danu menjawab “kecuali….
Aku. Yah, karena aku Ayah meninggal. Yah, kakak benar. Ayah meninggal karena
serangan jantung. Ayah memergoki aku dan teman-teman sedang pesta shabu-shabu.
Ayah menampar aku di depan banyak orang. Kemudian pulang ke rumah. Sesampai di
rumah, tiba-tiba ayah kesakitan dan tangannya memegang dadanya. Yah disini.”
Danu menunjuk dada sebelah kirinya.
“Lalu, Ayah pingsan yang ternyata meninggal.”
Sambung Danu
“APA ? itu tidak mungkin. Danu, kamu bohong kan
sama Ibu. Ayah kamu tidak mungkin meninggal karena sebab itu. Ibu yakin kamu
sedang mencoba mengarang cerita. Nak, Ibu, mohon jujur lah dengan Ibu.” Ibu
Riza pun menyentuh pipi anaknya itu dengan lembut.
Hati Danu memberontak. Danu sangat ingin
menjelaskan apa yang sebenarnya terjadi tapi danu nggak bisa. Danu udah
terlanjur berjanji pada Ayahnya pada malam yang hening itu.
****
“Kanker Otak ??” Danu
tercengang. Danu tak kuasa membaca tulisan yang
ada di depan matanya.
Tiba-tiba Ayahnya terjaga
“kamu. Kamu sudah membaca surat ini ?” Pak Riza langsung merebut surat itu dari
tangan Danu.
“apa maksud dari semua ini
yah ?? APA ?? ini pasti salah kan yah ?” Danu marah, tapi suaranya tak sanggup untuk mengeras.
“Danu, maafkan Ayah. Tolong
dengarkan cerita Ayah dulu dan Ayah mohon kamu harus janji untuk merahasiakan
ini semua.”
Akhirnya, Pak
Riza menceritakan apa yang sebenarnya terjadi. Dan sejak dari malam itu, Danu
seakan hidup sebagai pahlawan bagi Ayahnya sekaligus sebagai teroris bagi
keluarganya yang lain.
****
Sehari setelah meninggalnya
Pak Riza
Danu telah
bangun lebih pagi dari biasanya. Bahkan hari itu dia bangun duluan dibandingkan
yang lain.
“Bu…”
Ibunya
menoleh ke belakang. Dilihatnya anak laki-lakinya itu berdiri meunduk
menyiratkan sesuatu hal yang akan terjadi.
“Bu. Maafin Danu. Danu udah
bohongi semua orang selama 5 tahun. Maafin danu Bu. Danu salah !” danu
berlutut.
“berdirilah. Sekarang
ceritakan semuanya pada Ibu. Ibu siap mendengarkannya.”
Danu pun
menceritakan semua yang sebenarnya di depan Ibu dan Kakak-kakaknya. Danu
merasakan kelegaan didalam hatinya karena ia tak harus menutupi rahasia itu
lagi.
“jadi, selama ini penyakit itu telah menggerogoti tubuh Ayah. Kemudian, Ayah bilang bahwa ia sedang
ada urusan Dinas dan pulang lebih lama. Ayah kenapa harus melakukan itu ?”
Friska shock.
“Ayah melakukan check up karena Ayah merasa sakit dikepalanya. semua itu dilakukan Ayah tanpa sepengetahuhan kita semua karena Ayah nggak mau membebankan kita semua,
apalagi saat itu Ibu sedang sakit juga.” Lajut Danu.
“maafkan Ibu. Seandainnya
Kalau…”
“sudah lah Bu. Semua bukan
salah Ibu. Ibu sakit toh bukan Ibu
yang mau. Jangan menyalahkan diri sendiri Bu.” Deiya menenangkan Ibunya
“sekarang kamu pasti sudah
lega Dik. Kamu udah menjelaskan semua yang sebenarnya. Sekarang kakak yakin
nggak ada rahasia lagi yang kamu sembunyikan dari kami semua. Makasih ya dik.
Sekarang kita semua udah bisa melanjutkan hidup walau tanpa Ayah. Seperti yang
pernah kamu harapkan dulu dan kamu tahu, itu akan terjadi setelah semua
kebenaran terungkap” ucap Sani
“Ibu. Kakak. Masih ada 1
lagi…”
“Apa ??” semua menjawab
dengan bersamaan.
Danu tersenyum “Danu sayang kalian..”
Semuanya tersenyum bahagia.
Tak terkecuali Ayahnya yang berada di surga sana.
SELESAI
Tidak ada komentar:
Posting Komentar