welcome ...

Minggu, 20 Maret 2011

cerpen "Aku, Ayah dan Rahasia"


Aku, Ayah dan Rahasia

“Ayah……!!” friska bertteriak. Dengan lemah ia mengguncangkan tubuh ayahnya yang mulai mendingin.
“ayah bangun…. . Yah ini friska yah. Ayah udah lama kan pengen ketemu friska. Friska udah datang yah. Ayah harus bangun. Ayah ngomong donk yah. Ayah…….” Friska seakan buta terhadap apa yang sedang terjadi. Friska terus mengajak Ayahnya berbincang-bincang seharian.
Karena tak kuat lagi menyaksikan keadaan friska, akhirnya Ibu Riza, Ibunya terbaring tak sadarkan diri. Sedangkan kedua kakaknya yang masih dalam keadaan shock membawa Ibunya keluar dari kamar.
Mataharipun dengan kelelahannya menyelasaikan tugasnya untuk hari itu. Waktu telah menunjukkan pukul 11 malam. Namun, secercah senyumpun tak kunjung muncul dari keluarga  sederhana tersebut. Masing-masing masih shock atas kepergian Ayah mereka, Pak Riza. Tak terkecuali Danu, anak bungsu Pak Riza. Danu hanya tertunduk diam dalam duduknya di tepi pantai. Matanya seakan menerawang jauh, tapi tatapannya kosong. Rambutnya yang biasa tertata rapi, sekarang berubah 180 derajat. Pipinya tak basah sedikitpun, tapi matanya menyiratkan kesedihan dan kekecewaan yang seakan ingin merobek benteng pertahanan yang selama ini ia tunjukkan.
Danu masih kaku, tak tampak tanda-tanda perpindahan anggota tubuhnya, ia masih tetap bertahan dengan kedua kakinya dirapatkan dan tertunduk, menyandarkan kepalanya diatas lututnya. Ia mencoba mengenang kembali masa-masa 5 tahun terakhir, masa-masa dimana ia baru mengenal apa itu kehidupan. Tanpa disaadarinya, sepasang mata menatapnya seksama dari  balik jendela.
****
Sepulang sekolah Danu dengan mengendarai motornya bersama teman-temannya menuju markas mereka. Namun, dia mendadak berhenti ketika ia melihat seseorang yang sangat penting baginya sedang duduk lemas di tepi jalan dengan menggenggam amplop yang tak tahu apa isinya.
Danu menghampiri Ayahnya dengan cemas “Ayah kenapa disini?”.
Menyadari kehadiran Danu, Pak Riza dengan ekspresi penuh rahasia segera berdiri dan menatap dengan tajam Danu. “kamu kenapa disini ? kamu mengekori saya ya ?, hah ? ”
Danu menggeleng, “saya kebetulan melihat Ayah di…”
“Eits… kamu panggil apa ? Ayah ? jangan pernah panggil saya ‘ayah’. Mengerti ?. heh, aku tidak pernah sudi punya anak yang bisanya hanya buat aku pusing, dan hampir gila.” Danu bingung, dia tidak tahu apa kesalahan yang telah ia buat, sehingga Ayahnya marah padanya didepan umum seperti sekarang.
“Ayah, ada apa sih ? ayah sakit ? kok marah-marah nggak karuan kayak gini ?. Emang salah aku apa ?.” Danu pun jadi ikut emosi melihat Ayahnya.
Dengan sisa kekesalannya Danu beranjak pergi menuju teman-temannya dengan mengendarai motornya tadi.
“heh. apaan sih, aku nggak ada salah kok malah kena semprot depan banyak orang. Tapi, apa ya yang ada dalam amplop tadi ? sepertinya karena amplop itu Ayah jadi aneh bin buat kesel. Hmm, apa ya ?” Danu bertanya-tanya dalam hati. Tanda tanya pun semakin banyak melayang didalam otaknya saat dia melihat lagi Ayahnya duduk termenung dan terus menatap langit.
“Aneh, apa yang dilihat Ayah ? langit gelap, nggak ada bintang atau bulan. Lagian, kok tumben ya Ayah duduk sambil lihat langit, biasanya malam kayak gini kan Ayah nonton berita. Aneh !”
Danu menghampiri Ayahnya. Meskipun hatinya gusar teringat kejadian tadi siang, ia tetap memutuskan untuk mrnghampiri ayahnya. Ia pun duduk di samping Ayahnya itu.
“hmm, yah apa sih yang Ayah lihat di langit? Perasaan nggak ada apa-apa.” Kemudian Danu menoleh ke Ayahnya.
“ya, ternyata tidur. Kirain lihat langit.” Danu pun segera berdiri.
Namun ketika ia ingkin membalikkan badannya, tanpa sengaja ia melihat sebuah amplop yang sama persis dengan amplop yang dilihatnya tadi siang dalam keadaan terbuka.  Perl;ahan tapi pasti, Danu pun mengambil amplop tersebut dari genggaman Ayahnya. Tanpa pikir panjang, ia mengeluarkan isi amplop tersebut. Ternyata isi dari amplop tersebut adalah sebuah kertas. Dibukanya lipatan demi lipatan kertas tersebut. Rahasia itu akhirnya terbongkar. Tubuh Danu kaku, kertas tersebut masih digenggamnya. Persisi. Ekspresi yang sama seperti malam itu.
****
Keesokan paginya rumah tersebut dihebohkan dengan teriakan Deiya.
“Ibu, Ayah, Sani, Danu.”
“ada apa Deiya ? kok teriak-teriak ? kedengaaran sampai dapur.” Sahut Ibu Riza.
“Ibu, Friska gak ada di kamarnya.” Sambil berlari Deiya menghampiri Ibunya.
“Deiya. Jangan iseng deh. Masih pagi tahu. Nanti kedengaran Ayah, dikirain Ayah serius. Orang lagi pada sibuk jadi, jangan buat lelucon yang aneh-aneh.” Ibu masih sibuk dengan pekerjaan rutinnya yaitu mernyiapkan sarapan untuk keluarganya.
“Bu. Lihat mata Deiya bu. Deiya nggak bohong. Sekarang Deiya super serius. Kalau Ibu nggak percaya, nih baca surat dari Friska. Belum Deiya baca kok.” Bela Deiya.
Ibu Riza pun tersentak. Dibacanya satu per satu setiap kalimat dalam surat itu. Tak sengaja piring yang berada dalam genggamnya pun jatuh. Pak Riza, Danu dan Sani pun berlari menuju sumber suara.
“Ayah…” Deiya terkejut melihat Ayahnya yang telah menatapnya serius.
****
Waktu telah menunjukkan pukul satu dini hari. Dalam keadaan yang tak berubah, Danu memutuskan untuk kembali ke kamarnya. Saat hendak membuka pintu, Sani telah berdiri tegak di depannya.
“ikut aku !” Sani pun menarik tangan adiknya kembali menuju pantai.
Sesampai di tepi pantai, Sani berteriak sangat kencang. Danu mengerti makna teriakan itu. Dengan lembut Danu memeluk kakaknya itu. Dalam pelukan Danu, Sani terus menangis, melimpahkan kesedihannya. Memang selama ini, Danu lah yang mrnjadi tempat Sani mencurahkan isi hatinya, baik sedih maupun senang. Walau Danu lebih muda 2 tahun daripada Sani, tapi sikap Danu lebih dewasa daripada ketiga kakaknya yang lain.
“kenapa kak ?” Danu bertanya.
“kamu tahu kan dik, apa yang yang akan kakak tanyakan ?. Tanpa aku kasih tahu pun aku yakin kamu tahu.” Balas Sani.
“Kak, aku mohon ikhlaskan kepergian Ayah.Apa pun yang ada di pikiran kakak lebih baik jangan kita bahas. Lebih baik kita lanjutkan kehidupan kita bersama walau tanpa ayah. Aku yakin pasti Ayah juga sangat menginginkan hal ini. Aku yakin Ayah nggak mau kita semua seperti raga tak bernyawa setelah kepergian beliau.” Ucap Danu yang masih memeluk erat Sani.
Sani melepaskan pelukan Danu sambil menghapus sisa-sisa air matanya di wajahnya.
“Dik, kamu tahu nggak, orang-orang di dalam sana atau mungkin semua orang yang kenal dengan Ayah nggak tahu apa sebab dari kematian Ayah.” Sani marah, dan menunjuk kea rah rumahnya. “Mula-mulanya ayah pingsan nggak tahu karena apa, tapi nggak bisa bangun lagi. Itu aneh dik. Dan lebih anehnya lagi, saat mayat Ayah mau diatopsi, tiba-tiba kamu datang dengan membawa surat dari Ayah yang isinya bahwa ayah nggak mau jasadnya diatopsi atau apa pun setelah beliau meninggal. Apa maksud semua itu ?? APA ??” Sani menangis sambil berteriak. Dadanya terasa sesak. Ia pun menjatuhkan dirinya kepasir.
Ombak-ombak yang saling kejar-kejaran menjadi saksi bisu atas apa yang sedang terjadi anatara kedua kakak beradik tersebut.
“Kak, berdiri lah.” Bujuk Danu
“NGGAK !! AKU NGGAK MAU !” sekuat suara ombak, Sani berteriak sejadi-jadinya.
“Kak . aku mohon. Jangan siksa Ayah seperti ini kak. Aku mohon” danu pun menjatuhkan dirinya ke pasir.
“apa kamu bilang ? menyiksa ayah ? yang ada sekarang bukan aku yang menyiksa Ayah. Kamu sadar, sekarang kamu sedang menyiksa batin keluarga kamu sendiri. Ibu, Deiya, Friska dan aku.” Sanggah Sani
“Aku ?” Danu pura-pura tak mengerti.
“Dik, kamu tahu kan kamu nggak bisa sempurna bohong didepan kakak. Walaupun kamu sudah merasa berhasil bisa membohongi semua orang, tapi kamu tahu kamu perlu usaha yang besar untuk bisa bohong dengan kakak. Kamu tahu, usaha kamu itu gagal total.” Lanjut Sani.
“Aku tahu, kamu tahu apa sebab kematian Ayah. Aku tahu, kamu tahu bagaimana kondisi Ayah selama 5 tahun belakangan ini, dan aku tahu Ayah yang menyuruh kamu menyimpan sebuah rahasia dari kita semua yang pasti hal itu sangat berhubungan dengan kematian Ayah.” Sani menurunkan nada suaranya. Suaranya sudah mulai parau.
“Kak…”
“Ssttt…”  Sani meletakkan telunjuknya ke bibirnya. Dia pun berdiri dan melangkah tertatih-tatih.
“Kak mau kemana ?”
Sani membalikkan badannya dan tersenyum. “pulang.”
Dengan perasaan cemas Danu mengikuti Sani dari belakang. Sesampai di rumah, kecemasan Danu terjawab. Di ruang tamu, Ibu Riza, Deiya, dan Friska menunggu kedatangan mereka berdua dan jawaban dari semua tanda tanya yang ada.
“Ibu, kakak…” Danu terkejut. Sani terdiam kaku.
“jadi apa jawaban dari semua ini Danu ??” Ibu Riza memulai pertanyaan
“apa sebabnya, apa rahasia itu ?” lanjut Ibu Riza
Friska melangkah maju “Dik. Apa karena aku ? apa karena kesalahan aku dulu ? karena aku lebih memilih sekolah model daripada dokter, yang akhirnya Ayah jadi terkena serangan jantung setelah membaca surat dari aku.  Apa karena aku dik ?” Friska menangis menyalahkan diri.
“bukan kak. Kakak nggak salah. Tidak ada satu orang pun yang salah atas kepergian Ayah, kecuali….” Suara Danu terputus.
 “kecuali siapa Danu ?” tanya Deiya.
Dengan memejamkan mata, Danu menjawab “kecuali…. Aku. Yah, karena aku Ayah meninggal. Yah, kakak benar. Ayah meninggal karena serangan jantung. Ayah memergoki aku dan teman-teman sedang pesta shabu-shabu. Ayah menampar aku di depan banyak orang. Kemudian pulang ke rumah. Sesampai di rumah, tiba-tiba ayah kesakitan dan tangannya memegang dadanya. Yah disini.” Danu menunjuk dada sebelah kirinya.
“Lalu, Ayah pingsan yang ternyata meninggal.” Sambung Danu
“APA ? itu tidak mungkin. Danu, kamu bohong kan sama Ibu. Ayah kamu tidak mungkin meninggal karena sebab itu. Ibu yakin kamu sedang mencoba mengarang cerita. Nak, Ibu, mohon jujur lah dengan Ibu.” Ibu Riza pun menyentuh pipi anaknya itu dengan lembut.
Hati Danu memberontak. Danu sangat ingin menjelaskan apa yang sebenarnya terjadi tapi danu nggak bisa. Danu udah terlanjur berjanji pada Ayahnya pada malam yang hening itu.
****
“Kanker Otak ??” Danu tercengang. Danu tak kuasa membaca tulisan yang  ada di depan matanya.
Tiba-tiba Ayahnya terjaga “kamu. Kamu sudah membaca surat ini ?” Pak Riza langsung merebut surat itu dari tangan Danu.
“apa maksud dari semua ini yah ?? APA ?? ini pasti salah kan yah ?” Danu marah, tapi suaranya tak sanggup untuk mengeras.
“Danu, maafkan Ayah. Tolong dengarkan cerita Ayah dulu dan Ayah mohon kamu harus janji untuk merahasiakan ini semua.”
Akhirnya, Pak Riza menceritakan apa yang sebenarnya terjadi. Dan sejak dari malam itu, Danu seakan hidup sebagai pahlawan bagi Ayahnya sekaligus sebagai teroris bagi keluarganya yang lain.
****
Sehari setelah meninggalnya Pak Riza
Danu telah bangun lebih pagi dari biasanya. Bahkan hari itu dia bangun duluan dibandingkan yang lain.
“Bu…”
Ibunya menoleh ke belakang. Dilihatnya anak laki-lakinya itu berdiri meunduk menyiratkan sesuatu hal yang akan terjadi.
“Bu. Maafin Danu. Danu udah bohongi semua orang selama 5 tahun. Maafin danu Bu. Danu salah !” danu berlutut.
“berdirilah. Sekarang ceritakan semuanya pada Ibu. Ibu siap mendengarkannya.”
Danu pun menceritakan semua yang sebenarnya di depan Ibu dan Kakak-kakaknya. Danu merasakan kelegaan didalam hatinya karena ia tak harus menutupi rahasia itu lagi.
“jadi, selama ini penyakit itu telah menggerogoti tubuh Ayah. Kemudian, Ayah bilang bahwa ia sedang ada urusan Dinas dan pulang lebih lama. Ayah kenapa harus melakukan itu ?” Friska shock.
“Ayah melakukan check up karena Ayah merasa sakit dikepalanya. semua itu dilakukan Ayah tanpa sepengetahuhan kita semua karena Ayah nggak mau membebankan kita semua, apalagi saat itu Ibu sedang sakit juga.” Lajut Danu.
“maafkan Ibu. Seandainnya Kalau…”
“sudah lah Bu. Semua bukan salah Ibu. Ibu sakit toh bukan Ibu yang mau. Jangan menyalahkan diri sendiri Bu.” Deiya menenangkan Ibunya
“sekarang kamu pasti sudah lega Dik. Kamu udah menjelaskan semua yang sebenarnya. Sekarang kakak yakin nggak ada rahasia lagi yang kamu sembunyikan dari kami semua. Makasih ya dik. Sekarang kita semua udah bisa melanjutkan hidup walau tanpa Ayah. Seperti yang pernah kamu harapkan dulu dan kamu tahu, itu akan terjadi setelah semua kebenaran terungkap” ucap Sani
“Ibu. Kakak. Masih ada 1 lagi…”
“Apa ??” semua menjawab dengan bersamaan.
Danu tersenyum  “Danu sayang kalian..”
Semuanya tersenyum bahagia. Tak terkecuali Ayahnya yang berada di surga sana.

SELESAI

Tidak ada komentar:

Posting Komentar